Pondasi Yang Perlu Dipersiapkan Dalam Membangun Rumah Tangga

Menjelang usia yang matang saat ini, tepatnya di usia 24 tahun bagi seorang pria mungkin memunculkan pelbagai macam spekulasi tentang posisi seharusnya seorang pria berada. Banyak yang bilang bahwa usia ini adalah waktu yang tepat untuk membina sebuah rumah tangga, namun juga banyak yang berasumsi bahwa usia ini terbilag masih terlalu muda untuk berumah tangga dan seharusnya masih bisa berkelana meningkatkan kemampuan diri dan meraih prestasi.

Bagi penulis sendiri, seorang pria yang berasal dari keluarga normal pada umumnya. Memiliki pandangan bahwa seorang pria yang akan melangkahkan kakinya untuk berumah tangga wajib untuk membangun pondasi kuat bagi rumah tangganya kelak, lalu pondasi yang seperti apa?

Bicara pondasi bagi sebuah rumah nyata pada umumnya, harusnya memiliki beberapa pondasi bukan hanya satu, sebut saja rumah ideal memiliki minimal 4 pondasi untuk 4 sudut rumah tersebut agar nantinya rumah tersebut akan kuat jika menghadapi badai topan sekalipun.

Sama hanya dalam membangun sebuah rumah tangga, bagi seorang pria dia wajib mempersiapkan minimal 4 aspek pondasi, dan pondasi itu adalah Agama, Pendidikan, Penghasilan serta Kedewasaan. Namun untuk apa saja sih hal tersebut diperlukan, berikut ini penjelasannya.


Pondasi dalam membangun rumah tangga
(Sumber : https://pixabay.com/en/users/Petra4711-5147792/)

Pondasi 1 : Agama

Agama merupakan pondasi utama dan paling terpenting dalam membangun sebuah rumah tangga. Pada saat memasuki era modern seperti ini, mungkin banyak kita bisa menyaksikan bahwa manusia modern terkesan mengesampingkan agama sebagai pondasi utama berdirinya rumah tangga. 

Karena sebuah relasi yang terbangun antar dua orang yang dipertemukan dari ketertarikan perilaku dan tampang pada umumnya, seringkali melupakan agama sebagai hal yang perlu dipertimbangkan pertama kali.

Bagi penulis sendiri, penulis sering menjumpai banyak rekan yang menjalin sebuah relasi dengan pasangan yang berbeda kepercayaan, apakah itu salah? Tentu saja. Bukan berarti penulis berasumsi bahwa Indonesia hanya boleh menganut satu agama, tidak demikian.

Penulis berpendapat mau beragama Islam, Kristen, Hindu, Budha, silahkan saja itu kembali kepada pilihan masing-masing karena itu kembali kepada diri sendiri. Namun, apakah tidak bisa diusahakan pasangan kita memiliki kepercayaan yang sama? 

Dalam islam, semua pemeluk agama ini mengenal arah kiblat sebagai arah ibadahnya ditujukan. Nah sekarang, jika arah kiblat(pemikiran) saja tidak sama bagaimana bisa berjalan beriringan?

Jika pembaca memiliki pendapat yang sama, lalu untuk apa menjalin hubungan tanpa akhir yang jelas. Tentu ini akan menjadi hal yang percuma untuk membuang-buang waktu, uang, tenaga, pikiran untuk hubungan yang tidak memiliki muara pernikahan.


Pondasi 2 : Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu pondasi yang menurut penulis cukup penting dalam membangun rumah tangga. Namun seketika akan muncul pertanyaan keras, apakah harus sarjana untuk berumah tangga ? Tidak demikian.

Pendidikan bukan hanya berbicara tentang proses menimba ilmu dengan hasil pada sebuah ijasah. Pendidikan merupakan sebuah kesempatan untuk belajar menjadi dewasa berdasarkan pengalaman yang dimiliki oleh orang lain, bahkan dari sebuah kitab suci sekalipun.

Dengan menuntut ilmu dari sebuah proses pendidikan, sang calon ayah dan calon ibu akan memahami hal-hal yang boleh, bisa atau tidak berkenan untuk dilakukan baik dalam berkehidupan rumah tangga, kehidupan sosial, dan lain sebagainya.

Dari yang penulis amati, pasangan ayah dan ibu yang memiliki pendidikan yang cukup baik memiliki perlakuan yang baik kepada anak, mulai dari cara berbicara atau komunikasi kepada anak, berkomunikasi kepada istri atau suaminya, bahkan dalam menghadapi setiap permasalahan dalam rumah tangga.

Orang tua yang memiliki pendidikan yang baik, cenderung tidak pernah memarahi anak bahkan sampai melakukan kekerasan kepada anak, cara penyampaian yang halus namun tegas, dapat melakukan pendekatan yang baik kepada anak atau suami dan istrinya.

Dan lagi, anak yang berasal dari orang tua yang memiliki pendidikan yang baik pula cenderung memiliki kecerdasan yang baik, hal ini bisa dilihat dari cara anak berkomunikasi bahkan mengerti tentang sesuatu hal.

Sehingga itu adalah hal yang menurut penulis merupakan salah satu pondasi baik yang perlu dipersiapkan. Karena membina rumah tangga tidak sekedar berkenalan dan mengesahkan sebuah hubungan menjadi halal, namun lebih kepada sebuah komitmen yang akan dijalani sampai ke liang lahat bagi dua insan sampai keluarganya.


Pondasi 3: Penghasilan

Penghasilan sering kali menjadi alasan utama seseorang untuk menunda untuk membangun rumah tangga. Selain dikarenakan faktor sang keluarga calon yang menginginkan agar sang pria wajib memiliki penghasilanyang cukup, terkadang sang pria juga masih memiliki kekurang percayaan diri bahwa rejeki yang dimilikinya cukup untuk membiayai dirinya dan keluarganya kelak.

Disini mungkin hal yang paling tepat adalah quote yang sering kita jumpai yaitu "Yang terpenting bukan berpenghasilan tetap, tapi tetap berpenghasilan".

Namun dalam realitanya, banyak sekali umumnya para orang tua yang menginginkan sang anak mendapatkan calon yang berada dalam posisi sudah matang. Minimal memiliki rumah, mobil dan kemewahan lainnya dan hanya sedikit orang tua yang paham bahwa untuk mencapai itu semua dibutuhkan sebuah proses yang panjang dan itu tidak mudah.

Sering kali penulis menjumpai ada teman yang ditinggalkan bahkan senior yang ditinggal nikah karena kalah persaingan dalam hal tingkat kemapanan. Sang calon meninggalkannya, karena ada kandidat lain yang memiliki materi yang jauh dari yang dimiliki oleh senior penulis itu.

Dan seketika penulis pun berpikir, apakah sekejam itu sang calon mertua? Semoga saja tidak semua.

Dalam sudut ini penulis pun bisa berasumsi, bahwa yang salah itu terletak dari cara pandang orang tersebut. Bisa dibilang pada usia 20 sampai dengan 25 tahun, pada umumnya dalam karir seseorang barulah menempati tangga awal karirnya. Sehingga, penghasilan yang dimiliki baru terbilang cukup bagi sebuah keluarga kecil.

Namun pada usia 30 tahun, barulah orang tersebut berada pada tingkat kestabilan karir dan berpeluang memiliki karir yang lebih bagus dan tentu berpenghasilan lebih tinggi. Disini mungkin kita bisa menarik sebuah benang opini, jika sang orang tua berkenan memiliki calon dengan penghasilan yang terbilang mapan, maka tepat saja jika calon ideal adalah mereka yang memiliki usia sekitar 30 tahun.


Pondasi 4 : Kedewasaan

Secara umum, tingkat kedewasaan tidak dapat diukur oleh sebuah medium alat ukur baik itu sebuah tes tertulis maupun tes wawancara. Karena kedewasaan merupakan sebuah cara berpikir atau cara pemecahan masalah dan bagaimana proses dalam menghadapi hal tersebut.

Kedewasaan juga tidak didapatkan melalui sebuah proses pendidikan formal. Kedewasaan seseorang pada umumnya didapat dari penglaman baik diri sendiri atau orang lain yang dipelajari dan dipedomani sehingga menciptakan asumsi positif bagi dirinya untuk menghadapi permasalahan di masa yang akan datang.

Masalah? Ya, dalam hidup kita sebagai insan manusia sama sekali tidak akan pernah terlepas dari masalah. Dan setiap orang dalam berbagai strata pun tidak terlepas dari masalah. Pepatah lawas yang mungkin kita sering dengar, "Semakin tinggi pohon, semakin kencang juga terkena badai" Itu adalah kalimat yang sangat tepat.

Bagi orang normal yang berpenghasilan pas-pasan kisaran Rp 5 juta perbulan, permasalahan yang mungkin seraing dihadapi adalah sulit mengalokasikan biaya bulanan, biaya tak terduga, permasalahan hutang dan lain sebagainya yang mungkin terkadang bagi orang yang berada di level ini merasa penghasilannya tidak cukup dan berkeinginan agar memiliki penghasilan yang lebih agar semua masalahnya dapat selesai.

Dan ketika nanti dia memiliki penghasilan 15 juta, apakah masalahnya akan selesai ? Tentu saja tidak. Mereka akan dipertemukan dengan berbagai masalah baru nantinya. Sebut saja teman yang pinjam uang namun tak kunjung dikembalikan, cicilan rumah, mau tabungan umroh/haji, anak mau kuliah dan lain sebagainya. Dan pasti lagi-lagi akan merasa penghasilan itu tidak cukup dan masih saja menginginkan untuk berpenghasilan lebih.

Point of view-nya adalah, jangan pernah merasa bahwa apa yang dimiliki itu kurang, satu-satunya kekurangan yang dimiliki adalah kekurangan rasa bersyukur atas apa yang telah diberikan.

Mari kembali lagi ke masalah kedewasaan, pondasi ini merupakan pondasi utama dari 3 pondasi diatas. Kedewasaan bisa didapatkan dari pendidikan yang cukup, salah satu contohnya ketika dia pernah mengikuti sebuah seminar tentang cara asuh anak, maka sebagai orang tua dia tidak akan melakukan tindak kekerasan, dan ketika anaknya memperoleh nilai disekolah yang kurang baik orang tua tersebut tidak akan memarahi bahkan akan berupaya agar anak lebih semangat belajar dan mengupayakan berbagai cara.

Kedewasaan juga bisa diraih dari pondasi agama, sebut saja ketika seorang keluarga muslim yang sering mempedomani kitab suci Alquran, maka dia akan belajar bagaimana hak dan kewajiban seorang suami atau istri, berperilaku kepada orang tua bahkan mertua. Tentu saja hal ini juga dapat menjadi panduan yang tepat kiranya nanti akan dihadapkan permasalahan contohnya tentang bagaimana seorang anak berkasih sayang kepada ibu dan istrinya.

Bagi penulis pribadi, penulis pernah mendapat curhatan seorang kawan wanita yang bercerita tentang suami yang tidak adil kepada dirinya dan lebih mementingkan ibunya. Diposisi ini rumah tangga kawan penulis pun berada di ujung tanduk. 

Yang bisa penulis katakan, jika sang suami atau kawanpenulis itu banyak belajar mereka tentu akan memahami cara untuk melakukan pendekatan atau berkomunikasi baik kepada ibunya atau kepada istri agar satu sama lain tidak saling berada dalam konflik yang seharusnya tidak perlu terjadi.

Kesimpulan

4 pondasi dalam berumah tangga diatas merupakan opini berdasarkan pengelihatan, pengamatan serta analisa penulis terhadap hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam memulai membangun sebuah rumah tangga belajar dari rumah tangga orang tua penulis sendiri, rumah tangga senior dan juga kawan semasa SMK yang penulis ceritakan diatas.

Sebagai seorang pria penulis harus mempersiapkan pondasi itu, bukan terlalu banyak beralasan namun sebagai seorang anak yang hidup dalam keluarga yang kurang harmonis, dan setelah melakukan analisa terhadap keluarga senior yang telah penulis temui selama kurun waktu 7 tahun terakhir, penulis pun akhirnya menyadari bahwa menyegerakan menikah untuk melengkapi ibadah memerlukan pertimbangan serta persiapan yang matang.

Karena menikah bukan perkara soal laku atau tidak laku. Namun soal membangun sebuah hubungan jangka panjang, mempersatukan dua keluarga yang berbeda yang akan dibawa sampai ke akhirat.

Membangun sebuah rumah tangga dengan pondasi yang kurang kuat, hanya akan membuat sebuah bangunan rumah yang tidak akan siap jika diterpa oleh badai suatu saat nanti.

Badai yang seperti apa? Sebut saja lelaki rupawan dan mapan yang akan menggoda istri, wanita cantik nan seksi yang akan menggoda suami, anak yang sulit mendengarkan orang tua, atau mertua yang tidak akur dengan menantu dan lain sebagainya.

Jika para pembaca berpikir sebagai seorang lajang dan belum pernah menikah, penulis berpikir terlalu jauh bahkan terlalu sulit dengan kenyataan yang sesungguhnya tidak serumit itu.

Yang bisa penulis sampaikan adalah, apakah sebuah pengalaman itu harus berasal dari kita sendiri? Tentu saja tidak.

Ibarat ketika menghadapi sebuah jurang. Ketika terdapat seseorang yang pernah berjalan di sebuah lembah dan terjatuh di jurang dan akhirnya selamat lalu ketika dia menemui orang lain yang melalui lembah tersebut, dan jika dia peduli dengan orang yang ditemuinya maka dia akan menyampaikan "Hati-hati di depan ada jurang, persiapkan dirimu."

Maka tentu ucapan itu merupakan pengalaman orang lain yang menjadi pengalaman kita bukan? Kita tidak perlu jatuh di jurang yang sama, tapi kita sudah tahu bahwa di depan terdapat jurang yang akan membuat kita celaka jika tidak dipersiapkan secara matang.

Terakhir, ini adalah sebuah opini seorang bujang yang sama sekali tidak sakit gigi dengan ucapan rekan yang seakan memaksa untuk segera berkeluarga, tulisan ini hanyalah analisa dan asumsi tentang berbagai pendapat yang ada mengenai hal-hal yang perlu dipersiapkan guna membangun ikatan suci pernikahan. Semua perlu dipersiapkan untuk sesuatu yang akan dijalani sampai akhir hayat bahkan sampai di akhirat.

Semua akan menikah, pada waktunya.


Label: